Malam itu udara terasa pengap. Terdengar
bunyi berderit-derit, sesekali suara jangkrik berlalu di tengah rintihan
dari salah satu bilik sempit di wisma Dolly.
”Ah, kau hebat sekali, Min,” ucap Parji memuji ketrengginasan Minul di atas ranjang.
”Hampir saja napasku terasa putus,” lanjutnya sambil menyeka keringat dengan handuk.
Selepas mereguk kenikmatan laknat itu,
Parji membenahi kembali pakaian dinas pejabatnya yang sebelumnya
dilucuti dengan napas memburu.
”Berapa bayaranmu untuk kali ini,
manisku?” Parji tersenyum genit, mengeluarkan dompet kulitnya yang
berwarna cokelat, seperti warna kulitnya.
”Satu juta saja, Mas,” jawab Minul sembari membetulkan kembali branya. Mata Parji berubah mendelik. Menahan emosi.
”Dasar pelacur berlumur dosa! Pasang tarif mencekik leherku!” hardik Parji tiba-tiba.
”Kau lebih berdosa dariku. Kau rebut hak
rakyat banyak untuk dikorupsi. Sedangkan aku justru memberi kenikmatan
bagi banyak orang!” Wajah Minul merah. Membara di hatinya.
Graha Pena, 20 Juni 2012
0 komentar:
Post a Comment