Copas dari
http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/03/moral-di-sd-jepang-377536.html
Anak
saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo,
Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school”
di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD
Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya
gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.
Pada kesempatan itu,
orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami
diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar
mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa
kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa
tersebut mendidik
anak-anaknya.
Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang
saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan
orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan
dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada
kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun
pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan
karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.
Dan saat
saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu
terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih
menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang
ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata
pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral
diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.
Sejak masa
lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha,
dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan
bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah
bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan
filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di
Jepang.
Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu,
dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan
materi atau harta.
Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan
sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri
(Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai
Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta
menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society).
Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk
perilaku mereka.
Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada
anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri,
terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain,
lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam
realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum,
jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan
kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka
berada di tingkat pendidikan dasar.
Empat kali dalam seminggu, anak
saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus
membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap
anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.
Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan
juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral
jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah
menunjukkan atau bicara tentang materi. Anak-anak di SD Jepang tidak ada
yang membawa handphone, ataupun barang berharga.
Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah
di Jepang.
Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan
nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting.
Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga
dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua
di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih
mudah tertanam dan terpateri di anak.
Dengan kata lain, orang tua
tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka
justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.
Menyiapkan Makan Siang utk teman2nya / foto: Junanto
Saat
makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang
bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani
oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur
umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian
mereka
melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan
minuman.
Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang
pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa
melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya
melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.
Saya sendiri bukan
seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang
tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri
Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan
kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini.
Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.
Besarnya kekuatan
industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung
yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah
perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat
pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu
petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.
Sistem
pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh
sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua
sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga
sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang
bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem
nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi
kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu
nilai moral sudah berkurang di sana.
Di Jepang, masalah
pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga,
dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho.
Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik
anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat
dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak
diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.
Mudah-mudahan
dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan”
sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri
kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang
di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.
Hakikat pendidikan
dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan
sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu
teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih
melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan
budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai
moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal
ilmu-ilmu “penting” lainnya.
Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD
Jepang.
Salam.
Salam
Satria Dharma
http://satriadharma.com/