Just another free Blogger theme

Powered by Blogger.

Blog Archive ma.abudarrin

ruang tanya jawab

Popular Posts

fb Ma Abu Darrin Bojonegoro

Pages

Labels

Social Icons

Followers

Blog Archive

Featured Posts

February 19, 2015

1

MENGENAL RUKUN IMAN
I. Rukun Iman
1 Standar kompetensi : Mengenal rukun dan hakikat iman
2 Pemahaman mendasar :
- Iman merupakan pembenaran hati, bukan sekadar pembenaran akal ataupun
fisik.
-
Rukun iman merupakan dasar bangunan Islam, namun demikian masih
diperlukan tiang, atap, serta lantai untuk menyempurnakan bangunan
tersebut.
3 Kompetensi dasar dan rekomendasi level :
- Menghafal rukum iman (II)
4 Akhlak/keterampilan/aksi :
5 Dalil
A. Makna Iman
Iman berada di ranah batin. Iman tak kasat mata.Itu sebabnya manusia tidak dapat
menakar keimanan seseorang melalui tampilan fisiknya semata. Iman amat bernilai dalam
kehidupan manusia karena dengan iman tersebut manusia mampu memenuhi kewajiban
yang mendasari tujuan penciptaan manusia, yakni beribadah kepada Allah swt. (QS. adz-
Dzâriyât [51]: 56). Iman pula yang membuat manusia senantiasa dinaungi oleh petunjuk Allah
swt. sehingga tidak kehilangan arah dalam menempuh kehidupannya. Manusia yang
mengikuti petunjuk Allah swt. akan menjadi sosok yang bermanfaat bagi diri, sesama
manusia, bahkan alam semesta. Iman merupakan prasyarat agar manusia dapat meraih
kebahagiaan di dunia maupun akhirat.
Oleh karena itu, para guru perlu membantu murid untuk memahami makna iman
secara mendalam melalui beberapa dalil berikut ini:
1. Orang-orang yang beriman amat besar rasa cintanya kepada Allah swt.
“Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah sekutu-sekutu selain Allah.
Mereka mencintainya sebagaimana (mereka) mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman, cinta mereka kepada Allah sangat kuat. Dan seandainya orang-orang yang
berbuat zalim (itu) mengetahui ketika mereka melihat azab (pada Hari Kiamat), bahwa
semua kekuatan adalah milik Allah dan bahwa Allah sangat keras azab-(Nya, niscaya
mereka menyesal)” (QS. al-Baqarah [2]: 165).
Kecintaan yang tumbuh di dalam hati orang-orang beriman, sejatinya merupakan
perasaan cinta yang memang ditanamkan oleh Allah swt. Jika perasaan tersebut dirawat
melalui pengenalan dan keimanan tentang keistimewaan sang Maha Pemelihara, maka
2
tumbuh-suburlah perasaan itu. Semakin besar, semakin indah tumbuhnya rasa cinta itu,
apabila diiringi dengan ibadah yang disyariatkan-Nya.
Sayyid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân menyebutkan bahwa rasa cinta orangorang
beriman kepada Allah swt. merupakan cinta yang dilandasi dengan keikhlasan. Oleh
karena itu, mustahil rasa cinta kepada Allah dapat hadir jika keikhlasan kepada-Nya
belum tumbuh.
Perasaan cinta yang terus hidup dalam dada orang-orang beriman membuatnya
berbeda dengan orang-orang yang rasa cintanya diberikan kepada tandingan-tandingan
Allah. Orang-orang yang beriman mencintai Allah karena mendapat petunjuk,
berdasarkan ilmu dan atas dasar keikhlasan, sementara orang-orang yang mencintai
tandingan-tandingan Allah, perasaan cinta mereka timbul akibat kesesatan, kebodohan,
dan hawa nafsu.
2. Orang-orang yang beriman mengikuti kebenaran yang datang dari Allah swt.
“(Ganjaran dan balasan) itu adalah karena sesungguhnya orang-orang yang kafir
mengikuti yang batil (salah dan sesat) dan sesungguhnya orang-orang yang beriman
mengikuti yang haq (kebenaran yang sempurna) dari Tuhan Pemelihara mereka.
Demikianlah Allah membuat untuk manusia perumpamaan-perumpamaan bagi mereka
(untuk dipahami dan dijadikan pelajarn)” (QS. Muhammad [47]: 3).
Bagi orang-orang beriman, petunjuk dari Allah swt. merupakan lentera yang menerangi
jalan hidupnya. Mereka senantiasa bersemangat mengikuti lentera itu karena yakin akan
membawanya kepada keselamatan dan kebahagiaan. Lentera itu juga mencegah mereka
tersesat atau terperosok ke tempat yang berbahaya. Allah swt. Berfirman:
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia (terus-menerus) mengeluarkan mereka
dari aneka kegelapan kepada cahaya terang benderang (iman). Dan orang-orang yang
kafir, para pelindung mereka ialah thâghût, semua (terus-menerus) mengeluarkan mereka
dari cahaya terang benderang kepada aneka kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (QS. al-Baqarah [2]: 257).
3. Beriman merupakan kebajikan:
“Bukanlah memalingkan wajah kamu ke arah timur dan barat (itu suatu) kebajikan, tetapi
kebajikan (itu) ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para malaikat, kitab-kitab,
para nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, orang-orang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (orang yang) memerdekakan hamba sahaya, dan
melaksanakan shalat dengan sempurna, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janji mereka apabila mereka berjanji, dan orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya)
dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. al-Baqarah [2]: 177).
3
4. Orang yang beriman bukanlah peragu, mereka berjuang di jalan Allah, dan mereka itulah
orang-orang yang benar (jujur).
“Sesungguhnya orang-orang mukmin (yang mantap imannya) hanyalah orang-orang yang
beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu dan mereka berjihad
dengan harta mereka dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang
benar” (QS. al-Hujurât [49]: 15).
Berbekal keimanan yang telah menjadi cahaya penerang dalam kehidupannya, orang-orang
beriman menapaki jalan kehidupan dengan penuh keyakinan. Mereka pun yakin dengan
balasan yang Allah janjikan atas setiap amal perbuatan yang mereka kerjakan. Selain itu,
mereka juga menyadari bahwa dibutuhkan kesungguhan dalam setiap aktivitas yang mereka
lakukan.
B. Buah Keimanan
Terdapat beberapa dalil tentang buah keimanan:
1. Orang beriman mendapat petunjuk dan selalu dalam kebenaran.
“Maka, jika mereka beriman sama dengan apa yang kamu (orang-orang Mukmin) telah
beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk…” (QS. al-Baqarah [2]:
137).
“Apabila para hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad saw.) tentang Aku, maka
(jawablah) sesungguhnya Aku (sangat) dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala
perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran” (QS. al-Baqarah [2]: 186).
Sebaliknya, orang-orang yang kafir berada dalam kesesatan:
“Hai orang-orang yang beriman! Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab (al-Qur’an) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, atau para malaikat-Nya, atau kitabkitab-
Nya, atau para rasul-Nya, atau Hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah
sesat sejauh-jauhnya” (QS. an-Nisâ’ [4]: 136).
4
“Apakah (sama orang yang berjalan dalam kesesatan dan kebutaan, dengan) orang yang
berada di atas penjelasan yang nyata dari Tuhan Pemeliharanya, dan (penjelasan dan
bukti yang nyata itu) diikuti pula oleh saksi (al-Qur’an) dari-Nya; dan sebelum saksi itu,
telah ada kitab Musa (Taurat) yang merupakan pedoman dan rahmat. Mereka itulah
(orang-orang yang tinggi derajatnya karena) beriman kepadanya (al-Qur’an), dan
barangsiapa ingkar kepadanya dari golongan-golongan (dan penganut agama), maka
nerakalah tempat yang diancamkan baginya. Karena itu, janganlah engkau (Nabi
Muhammad saw.) dalam keraguan kepadanya (al-Qur’an). Sesungguhnya ia adalah yang
haq (mantap lagi tidak mengalami perubahan atau diragukan) dari Tuhan Pemeliharamu,
tetapi kebanyakan manusia tidak beriman” (QS. Hûd [11]: 17).
Petunjuk dan kepastian berada di jalan yang benar merupakan dua hal yang dibutuhkan
manusia agar selamat di dunia dan di akhirat, dan hal tersebut hanya dapat diperoleh oleh
mereka yang beriman.
2. Orang beriman mendapat kehidupan yang baik
“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia
seorang mukmin, maka sungguh Kami pasti akan menganugerahkan kepadanya
kehidupan yang baik, dan sungguh Kami pasti akan memberikan balasan kepada mereka
dengan (pahala) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl
[16]: 97).
Ini merupakan janji Allah bagi orang yang beramal saleh, yaitu amal yang mengikuti kitab
Allah swt. dan sunah Nabi-Nya, dari kalangan laki-laki maupun perempuan dari anakanak
Adam, dan hatinya beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan amal yang
diperintahkan itu disyariatkan oleh Allah swt., bahwa Allah akan memberikan kepadanya
kehidupan yang baik di dunia. Allah pun akan membalasnya di akhirat dengan balasan
yang lebik baik dari apa yang telah dia lakukan. Kehidupan yang baik itu meliputi bentukbentuk
kenyamanan dari semua aspek, misalnya rezeki halal yang baik, qana’ah,
kebahagiaan, beribadah di dunia, dan mengamalkan ketaatan dengan hati yang lapang.1
Nabi Muhammad saw. bersabda: “Sungguh telah beruntung orang yang masuk Islam dan
dia diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya qana’ah (ridha, menerima)
dengan apa yang Dia berikan kepadanya” (HR. Muslim no. 1054; Tirmidzi, Ibnu Majah,
Ahmad, dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash).
Di dalam hadits shahih disebutkan tentang perkara menakjubkan yang terdapat dalam
kehidupan orang-orang beriman. Dari Shuhaib, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
“Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya perkara urusannya
semuanya baik, dan tidaklah hal itu terjadi bagi seorang pun kecuali orang beriman. Jika
1Ulasan tafsir Ibnu Katsir secara ringkas
5
kesenangan meliputinya, dia bersyukur, maka hal tersebut baik baginya. Jika kesulitan
menimpanya, dia bersabar, maka hal itu pun baik baginya” (HR. Muslim no. 2999).
3. Orang beriman mendapatkan ampunan dan pahala yang besar.
Allah swt. berfirman: “Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami (baik yang terbaca
maupun yang terhampar di alam semesta), mereka itu adalah penghuni (neraka) Jahim”
(QS. al-Mâ’idah [5]: 9−10).
Abdurrahman as-Sa‘di—rahimahullah—menafsirkan ayat ini: “Allah, yang tidak akan
mengingkari janji dan yang paling benar perkataannya, telah menjanjikan kepada orangorang
yang beriman kepada-Nya, kepada kitab-kitab dan para rasul-Nya, dan kepada Hari
Akhir, serta mereka yang beramal saleh, berupa amal-amal yang wajib dan mustahab
(sunah), berupa ampunan terhadap dosa-dosa mereka, tidak menghukumnya, dan
ampunan atas dampak buruk dosa-dosa itu, serta pahala yang besar yang tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah swt.”2
4. Orang beriman akan disempurnakan pahalanya dan Allah swt. akan menambahkan
karunia-Nya bagi mereka:
“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka (Allah swt.)
akan menyempurnakan pahala mereka dan akan menambah untuk mereka sebagian
karunia-Nya. Adapun orang-orang yang enggan (menjadi hamba Allah swt. dengan
mengabaikan tuntunan-Nya) dan menyombongkan diri, maka Dia akan menyiksa mereka
dengan azab yang pedih, dan mereka tidak akan ada bagi mereka pelindung dan tidak
(pula) penolong selain Allah” (QS. an-Nisâ’ [4]: 173).
Artinya, Allah akan memberi mereka pahala yang sesuai dengan amal salehnya, dan
memberikan tambahan kepada mereka atas hal tersebut dari karunia, kebajikan, anugerah,
rahmat, dan keluasan-Nya.3
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari jalur Baqiyyah, dari Ismail ibnu Abdullah al-
Kindi, dari al-A‘masy, dari Sufyan, dari Abdullah secara marfu', bahwa Rasulullah saw.
membaca firmanNya: “Maka (Allah swt.) akan menyempurnakan pahala mereka dan akan
menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya” (QS. an-Nisâ’ [4]: 173), kemudian
Rasulullah saw. bersabda menafsirkannya: “Yakni, pahala mereka sepenuhnya dan Allah
akan memasukkan mereka ke dalam surga.”
Sedangkan untuk firman Allah swt. berikut ini: “Dan akan menambah untuk mereka
sebagian dari karunia-Nya” (QS. an-Nisâ’ [4]: 173), Rasulullah saw. bersabda
menafsirkannya: “(Diizinkan oleh Allah untuk memberi) syafaat terhadap orang yang telah
dipastikan baginya masuk neraka dari kalangan orang-orang yang pernah berbuat
kebajikan kepada mereka ketika di dunia.”Akan tetapi, sanad hadits ini tidak kuat; dan
2Tafsir Al-Karimir Rahman
3Tafsir Ibnu KatsirTaisir
6
apabila memang benar diriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas‘ud secara mauquf, maka
predikatnya jayyid (baik).
5. Keimanan seseorang mendekatkannya kepada Allah swt. dan mereka memperoleh balasan
yang berlipat ganda.
“Dan sekali-kali bukanlah harta kamu dan bukan (pula) anak-anak kamu yang (dapat)
mendekatkan kamu ke sisi Kami sedikit kedekatan (pun); tetapi (yang mendekatkan kamu
kepada Kami adalah keimanan dan ketakwaan, maka karena itu) orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, maka mereka memperoleh balasan yang berlipat ganda
disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka di tempat-tempat yang tinggi (di
surga) selalu aman” (QS. Saba’ [34]: 37).
6. Orang-orang yang beriman merupakan makhluk yang sebaik-baiknya
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (secara benar) dan (membuktikan kebenaran
iman mereka dengan) mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah sebaik-baik makhluk.
Balasan mereka di sisi Tuhan Pemelihara mereka ialah surg-surga ‘Adn yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah
ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah
(ganjaran) bagi orang yang takut kepada Tuhan Pemeliharanya.”(QS. al-Bayyinah [98]:
7−8).
7. Orang beriman terjaga harta, darah, dan kehormatannya.
Orang beriman terjaga harta, darah, dan kehormatannya, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits Rasulullah saw. berikut ini: “Dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari bapaknya,
dia menyebutkan bahwa Rasulullah saw. berada di atas untanya dan seseorang memegang
tali kendalinya, beliau bersabda: ‘Hari apa ini?’ Kami terdiam sehingga kami menyangka
bahwa beliau akan memberikannya nama yang bukan namanya. Beliau bersabda:
‘Bukankah ini hari kurban (‘Idul Adha- pen)?’ Kami menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda:
‘Bulan apa ini?’ Maka kami pun terdiam sehingga kami menyangka bahwa beliau akan
memberikannya nama yang bukan namanya. Beliau bersabda: ‘Bukankah ini bulan
Dzulhijjah?’ Kami menjawab: ‘Ya.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya darah, harta, dan
kehormatanmu, haram di antara kamu, sebagaimana keharaman (kehormatan) hari,
bulan, dan negerimu ini. Orang yang hadir hendaklah menyampaikan kepada yang tidak
hadir karena orang yang hadir kemungkinan dia akan menyampaikan kepada orang yang
lebih memahaminya daripada dirinya.’ (Ingatlah, sudahkah aku menyampaikan?
Ingatlah, sudahkah aku menyampaikan?).4
Al-Qurthubi menyatakan bahwa pertanyaan Rasulullah saw. tentang tiga hal tersebut, dan
diamnya beliau setelah setiap pertanyaan ialah untuk menghadirkan pemahaman bagi
mereka (para sahabat) dan agar mereka berkonsentrasi kepada beliau, serta agar mereka
4H.R. Bukhari, no. 67 (hadits riwayat Bukhari, no. 105)
7
merasakan keagungan perkara yang akan beliau sampaikan kepada mereka. Oleh karena
itulah beliau berkata setelahnya, “Sesungguhnya, darah kamu …dan seterusnya,” untuk
menekankan penjelasan penghormatan perkara-perkara ini.
Dalam konteks analogi di dalam sabda beliau, “Sebagaimana keharaman (kehormatan)
hari kamu ini” dan setelahnya merupakan penjelasan kepada orang-orang yang
mendengarkannya. Hal itu disebabkan kehormatan kota suci (Mekkah), bulan
(Dzulhijjah), dan hari (raya kurban), telah diakui di kalangan para sahabat Rasulullah saw.
Berbeda dengan kehormatan jiwa, harta, dan harga diri, maka di zaman jahiliyah mereka
biasa melanggarnya. Syariat Islam datang untuk menegaskan bahwa kehormatan darah
(jiwa), harta, dan harga diri seorang Muslim lebih besar daripada kehormatan kota suci
(Mekkah), bulan (Dzulhijjah), dan hari raya qurban.5
8. Hanya orang beriman yang akan masuk ke surga
Barangsiapa masuk Islam secara total, maka dia memperoleh jaminan untuk masuk surga.
Selain itu, hanya orang beriman yang akan masuk ke surga, sebagaimana sabda Rasulullah
saw.: “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sampai
kamu beriman, dan kamu tidak beriman sampai kamu saling mencintai. Maukah aku
tunjukkan sesuatu kepada kamu, jika kamu melakukannya niscaya kamu saling mencintai?
Sebarkan salam di antara kamu” (HR. Muslim, no. 54, dari Abu Hurairah).
Dalam hadits yang lain ditegaskan kembali bahwa hanya orang beriman yang akan
masuk surga.“Dari Ka‘b bin Malik, dari bapaknya, dia memberitakan kepadanya bahwa
Rasulullah saw. mengutusnya dan Aus bin al-Hadatsan pada hari-hari tasyriq, lalu dia
berseru, ‘Tidak akan masuk surga, kecuali orang beriman’” (HR. Muslim, no. 1142).
Di dalam al-Qur’an, Allah swt. memberitakan tentang kemustahilan orang kafir masuk
surga. Allah berfirman: “Sesungguhnya, orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami
dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak dibukakan bagi (amalan, doa,
dan arwah) mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga hingga unta
masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada para pendurhaka”
(QS. al-A‘râf [7]: 40).
9. Jika orang beriman masuk ke dalam neraka akibat dosa-dosanya, suatu saat pasti akan
dimasukkan ke dalam surga.
Orang kafir pasti masuk neraka dan kekal di dalamnya. Adapun jika seorang Mukmin
masuk neraka akibat dosa-dosanya, maka kelak dia akan keluar dengan syafaat orangorang
yang memohonkan syafaat baginya atau karena rahmat Allah semata.
Dari Abu Sa‘id al-Khudri, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Adapun penduduk
neraka yang mereka menjadi penduduknya, maka mereka tidak akan mati ataupun hidup
5Fath al-Bari penjelasan hadis no. 67 secara ringkas
8
di dalamnya, tetapi orang-orang yang tertimpa siksa neraka akibat dosa-dosa mereka,
maka Dia (Allah) akan mematikan mereka. Apabila mereka telah menjadi arang, maka
mereka diberi izin untuk mendapatkan syafaat. Mereka didatangkan dalam keadaan
kelompok-kelompok yang berserakan. Lalu mereka ditebarkan di sungai-sungai surga,
kemudian dikatakan, ‘Wahai penduduk surga, tuangkan (air) kepada mereka!’ Kemudian
mereka pun tumbuh sebagaimana tumbuhnya biji di tanah yang dibawa aliran air.”6
10. Hanya amal dari orang beriman yang diterima Allah swt.
Sesungguhnya amal memiliki beberapa syarat agar dapat diterima oleh Allah swt., yaitu;
ikhlas, mengikuti sunah Rasulullah saw., dan pelakunya ialah orang yang beriman. Oleh
karena itu, beruntunglah orang yang beriman dan merugilah orang-orang yang kafir.
“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia
seorang mukmin, maka sungguh Kami pasti akan menganugerahkan kepadanya
kehidupan yang baik, dan sungguh Kami pasti akan memberikan balasan kepada mereka
dengan (pahala) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl
[16]: 97).
Amal kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang kafir itu tertolak karena tidak
memenuhi syarat diterimanya amal. Allah swt. berfirman: “Dan orang-orang yang kafir,
amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka oleh orangorang
yang sangat dahaga bahwa ia adalah air, tetapi apabila dia telah mendatanginya,
dia tidak mendapati sesuatu pun, dan (ketika itu) didapatinya (ketetapan dan siksa) Allah
di sisinya, lalu Dia menyempurnakan untuk perhitungan (amal-amal)-nya dan Allah
sangat cepat perhitungan-(Nya)” (QS. an-Nûr [24]: 39).
Namun dengan keadilan-Nya, Allah membalas amal kebajikan orang kafir itu di
dunia ini. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya, Allah tidak akan menzalimi orang
beriman satu kebajikan pun, dia akan diberi (rezeki di dunia) karena kebajikannya itu,
dan akan dibalas di akhirat. Adapaun orang kafir, maka dia diberi makan dengan
kebajikan-kebajikannya yang telah dia lakukan karena Allah di dunia, sehingga jika dia
telah sampai ke akhirat, tidak ada satu pun kebajikannya yang akan dibalas.”7
Dalil-dalil Tentang Rukun Iman:
Kepada apa saja seseorang harus beriman? Cakupan Rukun Iman yang dijelaskan pada dalildalil
berikut ini:
“Rasul (Nabi Muhammad saw.) telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari
Tuhan Pemeliharanya, demikian pula orang-orang mukmin. Semuanya telah beriman kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, dan para rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami
tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari para rasul-Nya,” dan
6HR. Muslim no. 185 dan lainnya. Lihat takhrij-nya di dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 1551.
7HR. Muslim, no. 2808, dari Abu Hurairah. Lihat As-Shahihah, no. 53.
9
mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat. Kami (memohon) ampunan-Mu, Tuhan
Pemelihara kami, hanya kepada Engkaulah tempat kembali”” (QS. al-Baqarah [2]: 285).
Hadits Rasulullah saw.:
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ
بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فَأَسْنَدَ رُآْبَتَيْهِ إِلَى رُآْبَتَيْهِ وَوَضَعَ آَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم :
اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّآاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ
اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَآُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ آَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ
تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ . قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ
تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي
مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاآُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ .
[رواه مسلم]
Umar ra. berkata: Ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah saw. pada suatu hari, tiba-tiba
datanglah seorang laki-laki mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam,
tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun di antara kami
yang mengenalnya, hingga kemudian dia duduk di hadapan Rasulullah saw., lalu
menempelkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah saw.) seraya berkata: “Wahai
Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam!” Kemudian bersabdalah Rasulullah saw.:
“Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah dan
bahwa Muhammad saw. adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan, dan pergi haji jika mampu.” Kemudian dia berkata: “Kamu benar!” Kami
semua heran, dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang Iman!” Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, dan engkau
beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Kemudian dia berkata: “Kamu
benar!” Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan!” Kemudian beliau
bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya,
jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihat engkau.” Kemudian dia berkata:
“Beritahukan kepadaku tentang Hari Kiamat (kapan kejadiannya)!” Beliau bersabda: “Yang
ditanya tidak lebih mengetahui dibandingkan dengan yang bertanya”. Dia berkata:
“Beritahukan aku tentang tanda-tandanya!” Beliau bersabda: “Jika seorang hamba
melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan
penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya” Kemudian
orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah saw.) bertanya:
“Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan rasul-Nya lebih
mengetahui.” Beliau bersabda: “Dialah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud untuk)
mengajarkan agama kalian” (HR. Muslim).
10
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dapat disimpulkan bahwa rukun iman terdiri atas:
1. Iman kepada Allah swt.
2. Iman kepada malaikat-malaikat-Nya
3. Iman kepada kitab-kitab-Nya
4. Iman kepada rasul-rasul-Nya
5. Iman kepada hari akhir
6. Iman kepada takdir yang baik maupun buruk
BERIMAN KEPADA ALLAH SWT.
II. Iman kepada Allah
1 Standar kompetensi: Memahami iman kepada Allah (I) (QS. al-Baqarah [2]: 285)
2 Pemahaman mendasar:
a Allah esa dalam zat (QS. al-A‘râf [7]: 143), sifat (QS. al-A‘râf [7]: 156),
nama (QS. ar-Rahmân [55]: 1) dan perbuatan (QS. an-Naml [27]: 60) serta
dalam ibadah kepada-Nya. Keempat hal tersebut tidak saling bertentangan.
b
Allah dekat (QS. Qâf [50]: 16), kebersamaan Allah (QS. al-Hadîd [57]: 4)
dalam setiap kejadian di alam raya
c Allah mencintai dan karenanya wajar untuk dicintai (QS. al-Mâ’idah [5]: 54)
3 Kompetensi dasar:
A Menjelaskan wujud Allah (II) (QS. az-Zukhruf [43]: 84, al-Baqarah [2]: 29)
b Menjelaskan asma ul husna (I−VI) (QS. al-A‘râf [7]: 180)
c Menjelaskan sifat-sifat Allah dan berusaha meneladaniNya (II−VI) (QS. al-
Hasyr [59]: 22−24)
d Menjelaskan arti beriman kepada Allah (IV) (QS. al-Ikhlâsh [112]: 1−4)
e Mempraktikkan relasi uluhiyah dengan Allah (IV) (QS. Âli-‘Imrân [3]: 18)
f Mempraktikkan relasi rubbubiyah dengan Allah (IV) (QS. al-‘Ankabût [29]:
61)
4 Akhlak/aksi:
a
Akhlak: Merasa butuh dan bersangka baik terhadap Allah (QS. al-Qashash
[28]: 24 ), (QS. Maryam [19]: 4−5), bertanggungjawab (QS. at-Tahrîm [66]:
6, an-Nisâ’ [4]: 58), optimis (QS. az-Zumar [39]: 53), berpikir positif (QS.
al-Hujurât [49]: 12), bersyukur(QS. Ibrâhîm [14]: 7).
b Aksi :
5 Dalil
A. MAKNA IMAN KEPADA ALLAH SWT
11
Makna iman kepada Allah swt. Adalah meng-i‘tikad-kan diri secara sungguh-sungguh
bahwa Allah merupakan Rabb dari segala sesuatu, Dialah yang menguasai
(memilikinya) dan menciptakannya. Allah swt. merupakan satu-satunya zat yang
berhak untuk diibadahi dan disembah. Hanya Allah swt. yang patut disifati dengan
sifat-sifat yang Maha Sempurna dan suci dari segala kekurangan.8
Kandungan makna beriman kepada Allah swt. mencakup seluruh wilayah pengesaan
(tauhid) yang terdiri atas tiga aspek, yaitu rububiyyah, uluhiyyah, dan asma serta sifatsifatNya.
9
Menurut Said bin Ali bin Wahf al-Qathani, makna beriman kepada Allah swt. adalah
keyakinan bahwa Allah merupakan Rabb segala sesuatu, Dialah pemilik, pencipta, pemberi
rezeki, pemberi kehidupan, dan yang mematikan makhlukNya. Dialah yang berhak diibadahi,
bukan selain-Nya. Hanya Dia satu-satunya yang mesti disembah dengan merendahkan diri
dan tunduk dan dengan seluruh bentuk peribadatan. Dialah Allah yang disifati dengan sifatsifat
yang sempurna, agung, dan tinggi, serta suci dari segala kekurangan.
Untuk sampai pada tingkat keimanan mendalam kepada Allah swt., setiap hamba perlu
mengenal Allah swt.
Cakupan dalam Mengenal Allah SWT
Pengenalan tentang keberadaan Allah swt. mencakup beberapa hal, yaitu:
1. Allah bersifat esa dalam zat, sifat, dan nama, serta perbuatan-Nya
Zat Allah swt.
Bagaimana kita dapat meyakini zat Allah swt.? Apabila kita amati mobil yang
bergerak melintas dari kejauhan, atau menyaksikan pesawat terbang yang melayang di
udara, maka dengan amat yakin kita mengatakan bahwa pasti ada sopir yang menyetir
mobil dan ada pilot yang mengendalikan pesawat, meskipun kita tidak dapat
melihatnya secara langsung. Tanpa kehadiran sopir atau pilot, mustahil mobil dan
pesawat tersebut dapat melintas dengan selamat.
Hal yang penting dalam mengenal zat Allah swt. ialah bahwa manusia tidak
memiliki kemampuan untuk mengindera eksistensi zat Allah swt. Mengenai hal
tersebut, Allah swt. Berfirman: “Dia tidak (dapat) dijangkau oleh penglihatan mata,
sedangkan Dia (dapat) menjangkau segala penglihatan, dan Dialah Yang Maha
Tersembunyi, lagi Maha Teliti” (QS. al-An‘âm [6]: 103).
Melalui kisah Nabi Musa as., Allah swt. menunjukkan bahwa manusia dan
makhluk lain tidak akan mampu melihat wujud Allah swt. dalam kehidupan dunia
8Dr. Muhammad Na’im Yasin. Al-Îmân, arkânuhu, haqîqatuhu, nawaqiduhu
9Syarah Aqidah Thahawiyah; Taisiril Azizil Hamid
12
ini.“Dan ketika Musa datang untuk (bermunajat pada) waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan Pemeliharanya telah berfirman (langsung) kepadanya, Musa
berkata: ‘Tuhan Pemeliharaku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat
melihat kepada-Mu.’ Tuhan berfirman: ‘Engkau sekali-kali tidak akan (sanggup)
melihat-Ku, tetapi lihatlah ke gunung itu, maka jika ia tetap di tempatnya niscaya
engkau akan melihat-Ku.’ Maka ketika Tuhan Pemeliharanya ber-tajalli
(menampakkan apa yang hendak ditampakkannya) ke gunung (itu), (Allah swt.)
menjadikannya hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan. Maka, setelah sadar
(kembali), dia berkata: ‘Mahasuci Engkau, aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku
adalah (orang) yang pertama dalam (kelompok) orang-orang mukmin’” (QS. al-A‘râf
[7]: 143).
Dalam ayat lain, Allah swt. juga menegaskan bahwa diri-Nya tidak dapat
diserupakan dengan apa pun.
“......Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat” (QS. asy-Syûrâ [42]: 11).
Walaupun tidak memiliki kemampuan mengindra eksistensi Allah swt. secara
langsung, manusia telah diberi jalan untuk mengetahui dan meyakini keberadaan zat
Allah swt. melalui dalil fithrah, indra, akal, dan syariah.
• Dalil Fitrah.
Iman kepada Allah swt. merupakan fithrah yang melekat pada setiap makhluk,
tanpa melalui proses berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari fithrah ini,
kecuali manusia yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat
memalingkannya. Rasulullah saw. bersabda:
“Semua bayi dilahirkan dalam kondisi fithrah (Islam). Ibu-bapaknya yang akan
menjadikannya Yahudi, Kristen, atau Majusi” (HR. Bukhari).
Tentang pengakuan fithrah keimanan manusia di alam ruh ini telah disebutkan
oleh Allah swt. di dalam al-Qur’an:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhan Pemeliharamu mengeluarkan dari anak cucu Adam
dari punggung (sulbi orangtua) mereka keturunan mereka dan Dia
mempersaksikan mereka atas diri mereka (sendiri): ‘Bukankah Aku Tuhan
Pemeliharamu?’ Mereka menjawab: ‘Betul! kami telah menyaksikan.’ (Kami
lakukan yang demikian itu) agar kamu pada Hari kiamat tidak mengatakan:
‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’ Atau agar
kamu (tidak) mengatakan: ‘Sesungguhnya nenek moyang kami telah
menyekutukan (Allah swt.) sejak dahulu, sedangkan kami adalah anak-anak
keturunan (yang datang) sesudah mereka” (QS. al- A‘râf [7]: 172−173).
13
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fithrah seseorang mengakui
adanya Allah swt. dan juga menunjukkan bahwa manusia secara fithrah mengenal
Rabb-nya.
• Dalil Indriawi
Meskipun manusia tidak mampu mengindra wujud Allah swt. secara langsung,
namun Allah swt. telah memberi kemampuan kepada manusia untuk
mengindra tanda-tanda adanya wujud Allah swt. Kemampuan tersebut dibagi
menjadi dua:
a. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang
yang tertimpa musibah, lalu berdoa serta memohon pertolongan-Nya. Hal
ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah swt. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah wahai Nabi Muhammad dan ingatkan pula umatmu tentang)
Nuh, ketika dia menyeru (berdoa kepada Allah swt.) sebelumnya, maka
Kami memerkenankan untuknya, lalu Kami selamatkan dia bersama
pengikutnya dari bencana yang besar” (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 76).
Atau pada ayat lain, Allah swt. Berfirman: “(Ingatlah), ketika kamu (Nabi
Muhammad saw. dengan diamini pasukan kaum Muslim) memohon
pertolongan kepada Tuhan Pemeliharamu (supaya menganugerahkan
kemenangan), maka diperkenankan-Nya bagimu…” (QS. al-Anfâl [8]: 9).
Anas bin Malik ra berkata: Pernah ada seorang Badui datang pada hari
Jumat. Pada waktu itu Rasulullah saw. tengah berkhutbah. Lelaki itu
berkata: “Wahai Rasulullah, harta benda kami telah habis, seluruh warga
kelaparan. Oleh karena itu, mohonkanlah kepada Allah untuk mengatasi
kesulitan kami.” Rasulullah saw. lalu mengangkat kedua tangannya dan
berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung.
Rasulullah saw. belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi
jenggotnya. Pada hari Jumat yang kedua, orang Badui atau orang lain
berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah saw., bangunan kami hancur dan
harta benda pun tenggelam, doakanlah kami ini (agar selamat).”
Rasulullah saw. kemudian mengangkat kedua tangannya seraya berdoa:
“Wahai Rabb-ku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah
Engkau turunkan hujan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau tidak
mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali menjadi terang (tanpa hujan).”
(HR. Bukhari).
b. Keistimewaan para nabi dan rasul yang disebut mukjizat, kemampuan luar
biasa yang berada di luar jangkauan manusia, merupakan bukti eksistensi
Allah swt., zat yang mengutus para nabi dan rasul tersebut kepada suatu
kaum atau umat. Allah mengaruniai mukjizat sebagai penguat iman dan
penolong bagi para nabi dan rasul ketika menghadapi penolakan atau
ancaman dari kaumnya.
14
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa as. untuk memukul laut
dengan tongkatnya, Musa lalu memukulkan tongkatnya, maka terbelahlah
laut menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur
itu menjadi seperti gunung-gunung yang menjulang. Mukjizat tersebut
menyelamatkan Musa dan bani Israil dari kejaran Firaun dan bala
tentaranya. Allah berfirman: “Maka Kami mewahyukan kepada Musa:
‘Pukullah dengan tongkatmu laut (Meraha)!’ Maka terbelahlah (laut
menjadi dua belas jalur sebanyak suku bani Israil) dan setiap belahan
(jalur) seperti gunung yang sangat besar” (QS. asy- Syu‘arâ’ [26]: 63).
Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa as. yang mampu menghidupkan
kembali orang-orang yang sudah mati, lalu mengeluarkannya dari dalam
kubur dengan izin Allah. “…Dan aku menghidupkan orang mati dengan izin
Allah…” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 49).
Contoh ketiga adalah mukjizat Rasulullah saw. Ketika kaum Quraisy
meminta tanda atau mukjizat kerasulan beliau, maka Rasulullah
mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan
orang-orang dapat menyaksikannya. Allah berfirman tentang hal ini: “Telah
sangat dekat kiamat, dan telah terbelah bulan. Dan apabila mereka (orang
musyrik) melihat suatu ayat (bukti kekuasaan Allah swt. Betapapun jelasnya
bukti itu), mereka (enggan percaya dan) berpaling (dari kebenaran) dan
berkata: ‘(Ini hanyalah) sihir yang bersinambung’” (QS. al- Qamar [54]:
1−2).
Tanda-tanda keagungan yang diberikan Allah swt. melalui nabi dan rasul-
Nya yang dapat dirasakan oleh indra manusia merupakan bukti eksistensi
Allah swt.
• Dalil ‘aqli (akal pikiran)
Dalil ‘aqli mengenai eksistensi Allah swt. adalah proses penciptaan semua
makhluk. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri dan
mustahilpula tercipta secara kebetulan.
Cermatilah sekeliling kita! Akan kita dapati fakta bahwa segala yang
ada di sekitar kita merupakan karya penciptaan, bahkan gulungan tikar yang
sederhana pun pasti diciptakan oleh seseorang.
Islam mengajarkan kita identitas sang pencipta, yang keberadaannya
dapat kita jumpai melalui akal dan penalaran. Melalui agama yang
diungkapkan kepada kita, kita tahu bahwa Dia adalah Allah swt. yang Maha
Pengasih dan Maha Pemurah, Yang menciptakan langit dan bumi dari
kehampaan.
Allah menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath‘i tentang hakikat
penciptaan ini:
15
“Atau apakah mereka diciptakan tanpa (ada) sesuatu (yang menciptakan
mereka), atau apakah kah mereka adalah para pencipta (diri mereka
sendiri)?” (QS. ath-Thûr [52]: 35).
Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah yang tengah
membaca surat ath-Thûr dan sampai kepada ayat-ayat ini: “Atau apakah
mereka diciptakan tanpa (ada) sesuatu (yang menciptakan mereka), atau
apakah kah mereka adalah para pencipta (diri mereka sendiri)? Atau apakah
mereka telah menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak
meyakini (apa yang mereka katakan). Atau apakah di sisi mereka ada
perbendaharaan Tuhan Pemeliharamu (wahai Nabi Muhammad saw.), atau
apakah mereka para penguasa?” (QS. ath-Thûr [52]: 35-37). Ia, yang tatkala
itu masih musyrik berkata: “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan
menetapnya keimanan dalam hatiku ” (HR. Bukhari).
Allah swt. juga menegaskan bahwa Dia akan memperlihatkan tandatanda
kebesaran-Nya di seluruh penjuru alam semesta dan bahkan di tubuh
manusia itu sendiri:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka (para pendurhaka) tanda-tanda
(kekuasaan dan kebesaran) Kami di seluruh ufuk dan (juga pada) diri mereka,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa ia (al-Qur’an) adalah haq (benar dan
mengandung kebenaran). Dan apakah belum cukup bahwa Tuhan
Pemeliharamu Maha Menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat [41]: 53).
• Dalil Naqli (syara’)
Seluruh hukum yang mengandung kebajikan bagi manusia yang tertera dalam
kitab-kitab suci samawi merupakan dalil bahwa kitab-kitab tersebut berasal
dari Rabb yang Maha Bijaksana. Fenomena alam semesta yang termaktub
dalam kitab suci dan dapat dibuktikan kebenarannya secara empirik juga
merupakan dalil bahwa kitab-kitab tersebutberasal dari Rabb yang Mahakuasa
untuk mewujudkan apa pun yang dikehendaki-Nya.
“Maka tidakkah mereka memperhatikan al-Qur’an? Seandainya ia (al-Qur’an
itu) bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati di dalamnya
pertentangan yang banyak” (QS. an-Nisâ’ [4]: 82).
Nama-nama dan Sifat-sifat Allah swt.
Allah telah memperkenalkan diri kepada hamba-hambaNya dengan
memberitahukan nama-nama-Nya yang paling indah dan sifat-sifatNya yang paling
mulia. Semua itu disebutkan dalam Kitab dan sunnah rasul-Nya. Pada hampir setiap
ayat al-Qur’an, selalu berakhir dengan peringatan atau penyebutan salah satu dari
nama-nama Allah atau sifat-sifat-Nya. Sebagai contoh: “…Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. at-Taubah [9]: 5), dan juga dalam firman-
Nya: “…Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. an-Nisâ’ [4]: 17).
Nama-nama terbaik dan sifat-sifat Allah swt. yang mulia ini memiliki daya pengaruh
16
yang kuat dalam hati orang beriman, sehingga ia selalu merasa terawasi oleh Allah
swt. dalam setiap aspek kehidupannya. Dengan demikian, sempurnalah rasa malunya
dan ia akan terhindar dari bermaksiat kepada Allah swt.
Nama-nama Allah Yang Sempurna
Nama-nama Allah semuanya husnâ, artinya mencapai puncak kesempurnaan.
Nama-nama tersebut merujuk kepada zat yang memiliki sifat-sifat yang sempurna,
yang tidak terdapat cacat sedikit pun. Allah swt. Berfirman: “Dan (hanya) milik Allah
al-Asmâ’ al-Husnâ (nama-nama Allah swt. yang terbaik dan sempurna” (QS. al-A‘râf
[7]: 180).
Kewajiban kita terhadap nama-nama Allah ada tiga, yaitu:
1. Beriman dengan nama tersebut,
2. Beriman kepada makna (sifat) yang ditunjukkan oleh nama tersebut
3. Beriman dengan segala pengaruh yang berhubungan dengan nama tersebut.
Nama dan Sifat Allah Tidak Dibatasi oleh Bilangan Tertentu
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Aku memohon kepada Engkau dengan
semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama
diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau
turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu gaib di sisi-Mu”
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim, shahih). Tidak ada seorang pun yang dapat
membatasi dan mengetahui apa yang masih menjadi rahasia Allah dan menjadi
perkara yang gaib.
Adapun sabda beliau: “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, yaitu seratus
kurang satu. Barangsiapa yang menghafal dan paham maknanya, niscaya masuk
surga” (HR. Bukhari, Muslim), tidak menunjukkan pembatasan nama-nama Allah
dengan bilangan sembilan puluh sembilan. Makna yang benar adalah, sesungguhnya
nama-nama Allah yang berjumlah 99 buah itu mempunyai keutamaan bahwa siapa
saja yang menghapal dan memahaminya akan masuk surga.
Perbuatan Allah swt.
Allah swt. menegaskan perbuatan-Nya dalam ayat-ayat sebagai berikut:
“Sesungguhnya Dia-lah yang memulai (penciptaan semua makhluk) dan
mengembalikan (yakni, menghidupkan kembali setelah makhluk itu binasa). Dialah
17
yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai. Dialah Pemilik ‘Arsy lagi Mahamulia.
Maha Pelaksana terhadap apa yang dikehendaki-Nya” (QS. al-Burûj [85]: 13−16).
“Dia tidak (wajar dan tidak ada wujudnya) ditanya tentang apa yang Dia lakukan, tetapi
merekalah yang akan ditanya (kelak di Hari Kiamat tentang apa yang telah mereka
lakukan” (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 23).
Allah Esa dalam Perbuatan-Nya
Allah Esa dalam perbuatan-Nya berarti bahwa segala sesuatu yang berada di alam
raya, baik sistem kerja maupun sebab dan wujudnya, merupakan hasil perbuatan Allah
swt. semata. Apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-
Nya, tidak akan terjadi. Tiada daya (untuk memperoleh manfaat), tiada pula kekuatan
(untuk menolak mudharat) kecuali bersumber dari Allah swt. Namun demikian, tidak
berarti bahwa Allah swt. Berlaku sewenang-wenang, atau “bekerja” tanpa sistem yang
ditetapkan-Nya. Keesaan perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum, atau takdir dan
sunnatullah yang ditetapkan-Nya.
Allah Tidak Membutuhkan Siapa pun
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berfirman
kepadanya: ‘Jadilah! Maka jadilah ia’” (QS. Yâsîn [36]: 82).
Ayat ini tidak berarti bahwa Allah membutuhkan kata “Jadilah!”. Ayat ini hanya
menggambarkan bahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu Allah swt. tidak
membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan-
Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah ‘Isa as.
Dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan kata “Kun!”?
“Sesungguhnya perumpamaan (yang menakjubkan bagi manusia dari penciptaan) ‘Isa
(yang lahir tanpa ayah) di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia (Allah swt.)
menciptakannya dari tanah, kemudian berfirman kepadanya: ‘Kun (jadilah)’! Maka
jadilah dia” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 59).
Pada ayat lain, al-Qur’an menggambarkan proses kejadian ‘Isa, yang dimulai
dengan kehadiran malaikat kepada Maryam, kehamilannya, sakit perut menjelang
kelahiran, dan akhirnya lahir.10 Jelaslah bahwa kata “Kun” bukan berarti segala sesuatu
yang dikehendaki-Nya terjadi secara spontan, tanpa suatu proses.
2. Kebersamaan Allah dalam setiap kejadian yang manusia alami
10 QS. Maryam [19]: 16−26.
18
Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa suatu hari dia berjalan bersama Amirul
Mukminin Umar bin Khaththab dari Madinah menuju Mekkah. Di tengah perjalanan
beliau bertemu dengan anak gembala. Lalu, timbul dalam hati khalifah Umar untuk
menguji sejauh mana kejujuran dan sikap amanah si anak gembala. Maka, terjadilah
dialog berikut ini: “'Wahai anak gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing dari
ternakmu itu!” ujar Amirul Mukminin. “Aku hanya seorang budak,” jawab si gembala.
Umar bin Khaththab berkata lagi, seraya membujuk: “Kambing itu amat banyak. Apakah
majikanmu tahu jumlahnya? Apakah dia suka memeriksa dan menghitungnya?” Dijawab
oleh anak tersebut dengan mantap: “Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor
kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak
pernah memeriksa dan menghitungnya.” Umar bin Khaththab terus mencoba membujuk:
“Kalau begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Atau katakan saja
nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala. Ini uangnya, terimalah! Ambil
saja untukmu membeli baju atau roti.” Anak gembala tetap tidak terbujuk dan
mengabaikan uang yang disodorkan oleh Umar. Anak gembala tersebut diam sejenak,
ditatapnya wajah Amirul Mukminin, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang
menggetarkan hati khalifah Umar: “Jika Tuan menyuruh saya berdusta, lalu di mana
Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa Allah pasti
mengetahui siapa yang berdusta?”
Umar bin Khaththab merupakan seorang khalifah, seorang pemimpin besar. Dia
adalah seorang pemimpin umat yang berwibawa dan tak pernah gentar menghadapi
musuh. Akan tetapi menghadapi anak gembala itu beliau gemetar, rasa takut menjalari
seluruh tubuhnya, persendian tulangnya terasa lemah, kemudian beliau menangis.
Menangis mendengar kalimat tauhid yang mengingatkannya pada keagungan Allah, serta
tanggung jawabnya kelak di hadapan Allah.
Lalu dibawanya anak gembala yang berstatus budak itu kepada tuannya, kemudian
ditebusnya, dan beliau berkata: “Dengan kalimat tersebut (Fa ainallah) telah
kumerdekakan kamu dari perbudakan dan dengan kalimat itu pula insya Allah kamu
akan merdeka di akhirat kelak.”
Kisah di atas menggambarkan tentang besarnya keyakinan yang hidup dalam diri
seorang anak gembala akan kehadiran, kesaksian, dan keterlibatan Allah swt. dalam
hidupnya. Meskipun zat Allah baginya adalah sesuatu yang gaib, namun ia yakin bahwa
Allah menyaksikan segala perbuatannya. Tidak berhenti sampai di situ, rasa yakin akan
kehadiran dan kesaksian Allah swt. juga telah membentuk rasa takut dan bersikap hati-hati
agar Allah swt. tidak murka, apalagi sampai menghukumnya akibat perbuatan dosa.
Kedekatan dan keterlibatan Allah swt. juga dapat ditemui dalam surah al- Baqarah
[2]: 186:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad saw.)
tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku (sangat) dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah
mereka memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku
agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
19
Kedekatan Allah dengan hamba-Nya yang dinyatakan pada ayat di atas lebih khusus
daripada yang dinyatakan dalam surah Qâf [50] ayat 16: “Dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya.” Kedekatan Allah dengan hamba-Nya dalam ayat di
atas merupakan kedekatan yang interaktif dan intim karena terkait erat dengan doa dan
amal saleh yang berhasil ditunjukkan oleh seorang hamba, khususnya di bulan Ramadhan.
Dalam konteks ini, korelasi ayat doa dan kedekatan Allah yang intim dengan hamba-
Nya dengan ayat-ayat puasa (âyat ash-shiyâm) paling tidak dapat dilihat dari empat hal
berikut ini:
1) Salah satu dari pemaknaan Ramadhan sebagai syahrun mubârak yang menjanjikan
beragam kebajikan adalah syahr ad-du‘a, bulan dikabulkannya doa. Oleh karena itu,
Rasulullah saw. sendiri menjamin, “Bagi orang yang berpuasa, doanya tidak akan ditolak
oleh Allah swt” (HR. Ibnu Majah). Suasana keimanan yang kondusif di bulan Ramadhan
merupakan jaminan dikabukannya setiap doa. Dalam kitab al-Ma‘ârif as-Saniyyah Ibnu
Qayyim menuturkan: “Jika terhimpun dalam doa seseorang kehadiran dan kekhusyukan
hati, perasaan dan kondisi kejiwaan yang tunduk patuh serta ketepatan waktu yang
mustajab, maka doanya tidak akan ditolak oleh Allah swt.”
2) Ungkapan lembut “Sesungguhnya Aku dekat” merupakan komitmen Allah untuk
senantiasa intim dengan hamba-Nya, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Namun,
kedekatan Allah dengan hamba-Nya lebih terasa di bulan Ramadhan yang penuh dengan
keberkahan. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah swt. memberikan jaminan: “Tidaklah
hamba-Ku mendekat kepadaku sejengkal, melainkan Aku akan mendekat kepadanya
sehasta. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan berjalan, melainkan Aku akan
mendekat kepadanya dengan berlari dan sebagainya” (Muttafaqun Alaih).
3), Istijabah (falyastajibu li), yang dimaknai dengan kesiapan hamba Allah untuk
menyambut dan melaksanakan setiap seruan-Nya merupakan prasyarat dikabulkannya doa
seseorang. Hal ini pernah dicontohkan dalam sebuah hadits yang menceritakan tiga orang
yang terperangkap di dalam gua. Masing-masing dari ketiga orang tersebut menyebutkan
amal saleh yang pernah mereka lakukan sebagai wasilah berdoa kepada Allah, maka doa
mereka dikabulkan.
4), Kata “la’alla’” secara bahasa menurut pengarang tafsir al-Kasyaf, berasal dari kata
‘alla’ yang dipadankan dengan huruf ‘lam’ di depannya, yang bermakna‘tarajji’,
merupakan sebuah harapan langsung dari zat yang Maha Mengabulkan doa. Di sini Allah
swt. menyampaikan harapan yang besar terhadap hamba-hamba-Nya. Demikianlah
redaksi ‘La’alla’ yang selalu mengakhiri ayat-ayat puasa memiliki korelasi dengan ayatayat
doa yang diturunkan sebelum dan sesudahnya; ‘La’allakum tattaqun’, ‘la’allakum
tasykurun’, ‘la’allahum yarsyudun’, dan ‘la’allahum yattaqun’.
Kedekatan dan keterlibatan Allah swt. dalam kehidupan hamba-hamba-Nya juga
tergambar dalam pernyataan Ibrahim as. yang Allah swt. abadikan dalam kitab-Nya:
“Dia (Nabi Ibrahim as.) berkata: ‘Maka, apakah kamu telah melihat (yakni, berpikir
tentang hakikat dan kekuasaan) apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang
kamu yang terdahulu? Maka (karena itu) sesungguhnya mereka (sesembahan20
sesembahan itu) adalah musuh bagiku (juga musuh bagi kamu), kecuali Tuhan
Pemelihara seluruh alam (Dia bukan musuhku, bukan pula musuh nenek moyang kamu).
(Dia) Yang telah menciptakan aku, maka hanya Dia yang memberi petunjuk kepadaku,
dan hanya Dia Yang memberi aku makan dan memberi aku minum, dan apabila aku sakit,
maka hanya Dia yang menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku (dan seluruh
makhluk hidup, kemudian akan menghidupkan aku (kembali di Hari Kebangkitan), dan
yang sangat kuharapkan akan mengampuni untukku kesalahanku pada Hari Pembalasan”
﴾QS. asy- Syu‘arâ’ [26]: 75−82﴿.
3. Allah Mencintai Hamba-Hamba-Nya
Cinta dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya tidak terbatas. Hakikat dan besar
cinta-Nya tidak dapat dibandingkan dengan siapapun. Allah swt. Berfirman: “Rahmat-
Ku meliputi segala sesuatu” (QS. al-A‘râf [7]: 156).
Untuk memberikan ilustrasi tentang kasih sayang Allah swt. terhadap makhluk-
Nya, Rasulullah saw. mengibaratkan seandainya kasih sayang Allah berjumlah
seratus, maka yang sembilan puluh sembilan disimpan dan satu bagian lainnya dibagibagi,
maka satu bagian tersebut dapat mencukupi kebutuhan seluruh makhluk. Hal ini
menunjukkan betapa luasnya cinta dan kasih sayang Allah swt.
Ada beberapa bukti tentang besarnya cinta dan kasih sayang Allah kepada
manusia, di antaranya:
a. Diturunkannya al-Qur’an
Allah swt. tidak membiarkan manusia gamang tanpa petunjuk dalam menjalani
kehidupan. Dia menurunkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup agar manusia dapat meraih
kebahagiaan di dunia dan akhirat. “Inilah al-Kitab (al-Qur’an), tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. al-Baqarah [2]: 2).
Dalam ayat lain, Allah swt. Berfirman: “Sebenarnya, ia (al-Qur’an) adalah haq
(kebenaran mutlak) dari Tuhan Pemeliharamu agar kamu memberi peringatan kepada
kaum yang belum datang kepada mereka seorang pemberi peringatan sebelum kamu,
kiranya mereka mendapat petunjuk” (QS. as-Sajdah [32]: 3).
Dr. Quraish Shihab mencatat ada tiga petunjuk penting yang diberikan al-Qur’an,
yaitu: 1) Petunjuk akidah, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan
kepercayaan akan kepastian Hari Pembalasan. 2) Petunjuk mengenai akhlak yang murni
dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan moral, baik yang menyangkut
kehidupan pribadi maupun sosial. 3) Petunjuk mengenai syariat dan hukum, yaitu dengan
jalan menerangkan dasar-dasar hukum dalam hubungannya dengan Allah dan sesama
manusia.
b. Diutusnya para Rasul
21
Setiap manusia membutuhkan teladan yang dapat dijadikan rujukan. Untuk memenuhi
kebutuhan itu, Allah mengutus para rasul. Inilah bukti kecintaan Allah yang kedua
terhadap manusia. Dia mengutus rasul yang akan memandu manusia menuju jalan
kebahagiaan, mengenalkan mereka kepada Tuhannya, sekaligus menjadi model manusia
yang dikehendaki Allah swt. “Demi (Allah), sungguh telah ada bagi kamu pada (diri)
Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang (selalu) mengharap (rahmat) Allah
dan (kebahagiaan) Hari Akhir, serta yang banyak berzikir kepada Allah” (QS. al-Ahzâb
[33]: 21).
Kita yang tidak hidup semasa dengan Rasulullah saw., dapat membuka
warisannya berupa hadits dan sunah. Di dalamnya terdapat penjelasan yang rinci tentang
semua ajaran Allah yang berisi tentang petunjuk menjalin hubungan dengan Allah dan
dengan sesama manusia. Di dalamnya, kita mendapati figur mulia Rasulullah saw. sebagai
teladan terbaik.
c. Diciptakannya Alam Semesta
Allah swt. menciptakan alam semesta dengan tujuan yang jelas. Dia menjadikan semua
yang terdapat di bumi dan langit untuk memenuhi kebutuhan manusia. “Dialah Yang
menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu, kemudian Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu” (QS. al-Baqarah [2]: 29).
Seluruh potensi di dalam dan permukaan bumi tersedia untuk diambil manfaatnya
secara optimal untuk memenuhi kebutuhan manusia. Semua yang Allah ciptakan
bermanfaat bagi manusia, bahkan pada nyamuk sekalipun.Meski kerap menganggu ketika
tidur, nyamuk dapat membangkitkan kreativitas manusia yang bernilai ekonomis,
misalnya pembuatan obat anti-nyamuk.
Allah telah menciptakan alam dengan sempurna sehingga manusia dapat hidup di
dalamnya dengan nyaman. Semuanya telah ditata secara akurat. Perjalanan siang dan
malam, rantai makanan antara makhluk hidup, semuanya telah diatur dengan hukum-Nya.
d. Luasnya Ampunan Allah
Bukti keempat cinta dan kasih sayang Allah terhadap manusia ialah luasnya ampunan
yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya. Sebanyak apa pun dosa manusia, Allah pasti
akan mengampuninya jika mau bertobat. “Dan hendaklah kamu memohon ampun kepada
Tuhan Pemeliharamu, kemudian bertobatlah kepada-Nya, pasti Dia akan memberi kamu
kenikmatan yang baik sampai waktu yang ditentukan dan Dia akan memberi kepada
setiap pemilik keutamaan (amal-amal baik, balasan) keutamaannya” (QS. Hûd [11]: 3).
Tangan Allah terbuka setiap saat bagi mereka yang mau bertobat. Rasulullah saw.
bersabda: “Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang berbuat
keburukan di siang hari bertobat, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari agar
22
orang yang berbuat keburukan di malam hari bertobat. (Ini akan terus berlaku) hingga
matahari terbit dari arah barat” (HR. Muslim).
Dia akan mengampuni semua dosa, sekalipun dosa tersebut sepenuh isi bumi. “Wahai
manusia, sekiranya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa seisi bumi, kemudian
kamu bertemu Aku dalam kedaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu, niscaya Aku
datang kepadamu dengan membawa ampunan seisi bumi pula.” (Hadits qudsi yang
diriwayatkan Imam Tirmidzi).
e. Memberikan Rezeki
Allah adalah ar-Razzâq, Maha Pemberi rezeki. Setiap makhluk dikaruniai rezeki agar
dapat menjalani hidup dan beribadah kepada Allah swt. “Katakanlah (Nabi Muhammad
saw.): ‘Sesungguhnya Tuhan Pemeliharaku melapangkan rezeki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan menyempitkan baginya, dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka Dia akan menggantinya (di dunia atau di akhirat) dan Dialah
sebaik-baik Pemberi rezeki” (QS. Saba [34]: 39).
Karunia rezeki-Nya bahkan meliputi binatang melata. “Dan tidak ada makhlukmakhluk
melata (termasuk manusia) di bumi, melainkan atas Allah-lah rezekinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiamnya dan tempat penyimpanannya. Semuanya (tertulis) dalam
kitab yang nyata (Lauh al-Mahfûzh)” (QS. Hûd [11]: 6).
Setiap makhluk dicukupi kebutuhan hidupnya dengan karunia Allah yang tak
terbatas. Kewajiban manusia hanyalah berikhtiar menjemput rezeki yang halal dan
bersyukur kepada-Nya. Wujud syukur yang paling utama adalah mengabdi dengan tidak
menyekutukan-Nya dengan apa pun.[]


TRIMS ATAS KUNJUNGANNYA, TEGUR SAPA SANGAT BERARTI BAGI KAMI ma.abudarrinbojonegoro@yahoo.com

0 komentar: