TUGAS
MATA KULIAH
TASAWUF DAN TARIKAT
Tugas bagi mahasiswa Semester I.
Petunjuk
1.
Mahasiswa diminta menyusun makalah dengan judul
diutamakan bernuansa Maqamat dan Ahwal.
2.
Makalah diketik 2
spasi di kertas A4 sebanyak 7
– 10 halaman.
3.
Literatur minimal 10,
ada yang berbahasa asing dan masuk catatan kaki.
4.
Tugas dikirim melalui
e-mail ke aminsyukur@yahoo.co.id.
5. Tidak diperkenankan
terdapat pekerjaan yang sama di antara peserta ujian. Apabila diketahui
tugasnya sama, maka dinyatakan pekerjaan yang sama digugurkan.
SABAR BAGIAN DARI KESEMPURNAAN
TAUHID
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tasawuf
& Tarikat
PEMBINA
Prof.Dr.H.M.
Amin Syukur. MA
OLEH:
DIDIK SAMSUL HADI, S.Pd.I
NIM : 14010074
PROGRAM MAGISTER
STUDI ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DARUL ‘ULUM JOMBANG
2015
KATA
PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke
hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah,Allah SWT,
karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang
diharapkan.Dalam makalah ini kami membahas “SABAR BAGIAN DARI
KESEMPURNAAN TAUHID ”, suatu permasalahan
yang selalu dialami kita semua.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah Tasawuf
dan Tarikat yang
sangat diperlukan dalam kehidupan sehari – hari.
Ucapan Terimaksih kepada :
·
PROF. Dr. HM. AMIN SUKUR, selaku dosen mata kuliah “TASAWUF & TARIKAT ”
- Rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah ini.
- Istri dan anakku yang tercinta.
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,
Bojonegoro, 5 Maret 2015
Penyusun’
DIDIK SAMSUL HADI
ii
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL........................................................................ i
KATA
PENGANTAR...................................................................... ii
DAFTAR
ISI.................................................................................... iii
BAB
1.PENDAHULUAN................................................................
BAB
2.PEMBAHASAN...................................................................
BAB
3.PENUTUP.
3,1.KESIMPULAN............................................................... 6
3.2.DAFTAR
PUSTAKA........................................................ 7
I.
PENDAHULUAN
1.1 Hakikat Sabar
Sabar adalah
pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam
menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala
sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al Fawa’id,
hal. 95)
1.2 Pengertian
Sabar
Secara
bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran”
(artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam
tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan.
Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada
Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir
Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
II.
PEMBAHASAN
2.1 Macam-Macam Sabar
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu
terbagi menjadi tiga macam:
1.
Bersabar dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah
2.
Bersabar untuk tidak melakukan
hal-hal yang diharamkan Allah
3.
Bersabar dalam menghadapi
takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan
gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang
lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
2.2 Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir
Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan
sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan
bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal
shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain
yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran.
Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak
berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala,
“Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]:
45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada
Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu
pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala
berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran
kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka
itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga)
dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan
sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu
kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan
Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan
petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat
Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal.
375)
2.3 Sabar Dalam Ketaatan
2.3.1 Sabar Dalam
Menuntut Ilmu
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang
yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia
harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga
dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan
cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan
serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi
Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak
mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim.
Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat
darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena
kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang
yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul, hal.
12-13)
2.3.2 Sabar Dalam Mengamalkan
Ilmu
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus
bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia
melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah
niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya,
demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan
nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan
harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang
dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang
berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api,
maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul
wushul, hal. 13)
2.3.3 Sabar Dalam
Berdakwah
Syaikh
Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama
Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya,
karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah
bin Naufal mengatakan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang
kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada
tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula
para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu.
Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya
para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan
dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan
dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha
menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari
kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul
wushul, hal. 13-14)
2.3.4 Sabar dan
Kemenangan
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala
berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul
sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan
mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]:
34).
Semakin besar gangguan yang diterima
niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah
pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih
hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi
yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya.
Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima
dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk
pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk
bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya.
Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya
dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang
menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu
‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum
mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau
orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa
jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada
musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan
[25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu
semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
2.3.5 Sabar di atas Islam
Ingatlah
bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang
teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh
majikannya di atas padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran,
hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami
oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang
sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah.
(Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi
Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan
Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan
tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi
Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus
nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan
agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah,
inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun
diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya
cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta,
kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau
kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang
dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa
silam.
Mereka disakiti, diperangi,
didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang
tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam
penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan
mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala
yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang
artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan
jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak
disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah,
sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama
kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada
kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah
Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain,
III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
2.3.6 Sabar
Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid
bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari
kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena
bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya.
Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan
mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di
dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang
ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar
petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di
antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di
antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan,
“Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing
(mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami
timpakan kepadanya hujan batu
kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan
di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada
yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka,
akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al
‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya
karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala.
Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan
kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan
kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih.
Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari
perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah
terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah
dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di
hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan
berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.”
(QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya
kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani
dalam Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
2.3.7 Sabar
Menerima Takdir
Syaikh Zaid
bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam
kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta
hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun
di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan
Allah lah yang mentakdirkannya.
Maka bersabar itu harus. Bersabar
menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa,
anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut
ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
2.3.8 Sabar dan
Tauhid
Syaikh Al
Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala
membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal
iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi
takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy
Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya
tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati
kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang
sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan
anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi
tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan
perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at
(untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk
musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar
ketika menghadapinya.
Disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung
penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa
marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam
bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut
istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari
marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara
merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
III. PENUTUP
Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar
adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang
tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk
menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan
maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala
aqdaarillah” artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah
bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai
cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau
ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan.
Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga
termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu
harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang
kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar
terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)
KESIMPULAN
Untuk melaksanakan berbagai
kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai
larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan
takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh
sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar
dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala
menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup
bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab
tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka
menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid.
Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun
bersabar menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang
banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa
ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk
menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir
yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan
bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan
hukumnya juga wajib.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tafsir al-azhar XV-XVI, ( Jakarta : CV
Pustaka Panjimas, 1998 ),h.68
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta
: Diponegoro, 2005)
http://ferrydjajaprana.multiply.com/reviews/item/7
0 komentar:
Post a Comment